Jakarta (26/10). Organisasi Pangan dan Pertanian PBB atau Food Agriculture Organization (FAO), memperkirakan jumlah orang yang kekurangan gizi pada 2020 bakal meningkat hingga 132 juta. Sementara jumlah anak-anak yang kekurangan gizi akut juga akan meningkat sebesar 6,7 juta di seluruh dunia, akibat wabah virus corona.
“Saat ini, umat manusia baru tersadar bahwa ketahanan pangan dalam krisis saat dihadapkan kepada pandemi. Untuk itu pada masa mendatang, bangsa Indonesia harus menyadari pentingnya ketahanan dan kemerdekaan pangan. Bukan berbasis impor tapi swadaya,” ujar Ketua Umum DPP LDII Chriswanto Santoso.
Namun, dalam jangka pendek, Chriswanto mengingatkan semua pihak, bahkan pada level keluarga sekalipun harus memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan dalam menghadapi pandemi. Ia beralasan, pembatasan aktivitas sosial dan bisnis telah membuat produktivitas sektor pangan menurun. Di berbagai negara, bahkan beberapa komoditas tak dipanen karena berbagai hambatan akibat Covid-19. Hal tersebut berakibat terganggunya pasokan pangan global.
Chriswanto mengingatkan, ketahanan pangan juga bisa dibangun secara individual. Keluarga bisa memanfaatkan halaman mereka bercocok tanam dengan karung atau hidroponik. Bahkan memelihara ikan dengan konsep akuaponik.
Senada dengan Chriswanto, Profesor Riset Kementerian Pertanian Rubiyo mengatakan sistem pangan nasional harus berangkat dari bagaimana negara menyiapkan aspek kemandirian pangan, “Ukuran yang dicapai adalah ketahanan pangan dan keamanan pangan nasional. Outcome-nya adalah bagaimana 267 juta penduduk Indonesia tidak boleh lapar, sehat, aktif dan produktif,” ujar Rubiyo yang juga anggota Departemen Litbang Iptek SDA dan Lingkungan Hidup DPP LDII.
Ia menuturkan, salah satu aspek sederhana yang dapat dimulai adalah dengan melakukan penguatan pangan keluarga. Misalnya dengan mendorong masyarakat di daerah rentan rawan pangan mampu menyediakan pangannya sendiri, dengan memberikan pangan yang bergizi, seimbang dan aman.
“Langkah yang dapat dilakukan dimulai dengan membentuk family farming berbasis lokasi, misalnya pada level desa, kecamatan dan seterusnya,” ujarnya.
Selanjutnya adalah memasukkan pertanian pada sektor formal. Kemudian perlu memperkuat lumbung pangan masyarakat, contohnya adalah dengan model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), yakni mengusahakan pekarangan secara intensif untuk menjamin kesinambungan penyediaan bahan pangan rumah tangga yang berkualitas dan beragam.
Ia menyarankan, perihal ketahanan pangan tersebut, dilakukan juga oleh ormas-ormas dengan mengorganisir anggotanya. Baik pada level provinsi, kabupaten, hingga kelurahan, “Kemudian terkait dengan pertanian keluarga, subjeknya adalah keluarga petani, kemudian kelompok pemuda. Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas), DPP LDII menyampaikan konsep ketahanan pangan, termasuk pertanian keluarga dan eco-pesantren,” ujarnya.
Konsep pertanian keluarga dengan memaksimalkan lahan di pekarangan melalui demplot dan ujicoba sehingga pekarangan rumah dapat memberikan nilai tambah. “Konsep urban farming juga potensial untuk memberikan nilai tambah berupa pendapatan keluarga dengan melakukan inovasi pada komoditas pertanian seperti sayur, ternak, rempah dan tanaman lainnya,” ujarnya.
Rumah tangga pada praktiknya memiliki kearifan masing-masing. Ia menganjurkan agar, semua pihak yang berkepentingan melakukan edukasi dan uji coba serta memastikan benih agar mudah. Hal tersebut dapat mempercepat transfer teknologi pada masyarkat dengan kearifan lokal masing-masing, “Misalnya budaya nasi jagung di Madura adalah kekayakaan khazanah Indonesia yang perlu didukung sehingga dapat juga mendorong keberhasilan diversifikasi pangan dengan kearifan lokal yang dimiliki,” imbuhnya.
Menurut Rubiyo, penguatan lahan di pekarangan perlu memperhatikan jenis tanah, luas lahan, ketersediaan tenaga kerja keluarga, pemahaman terhadap inovasi, dan preferensi yang menjadi masalah dalam implementasi di lapangan. Pengemasan urban farming yang baik, dapat dilakukan dengan mendorong komitmen pemerintah daerah, “Membangun ketahanan pangan nasional dimulai dari ketahanan pangan keluarga, pemerintah daerah memiliki andil besar dalam hal ini,” ujarnya.
Implementasi di lapangan dapat dimulai dengan mendukung sarana dan prasarana, serta memberikan contoh keberhasilan program. Karena jika terbukti manfaatnya, akan lebih termotivasi untuk menerapkan urban farming.
Senada dengan Chriswanto dan Rubiyo, ketua DPD LDII Kabupaten Jayapura, Imam Subekti mendukung ketahanan pangan keluarga dengan memanfaatkan pekarangan, lahan dan halaman disekitar tempat tinggal masing-masing baik dengan sistem konvensional, sistem urban farming maupun hidroponik.
“Tanaman yang kita tanam baik sayur mayur, tanaman obat keluarga (toga), palawija, buah-buahan berumur pendek maupun jenis tanaman lainya setidaknya dapat mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga untuk menekan pengeluaran dan jika ada kelebihan dapat dijual untuk menambah penghasilan,” tambah Imam. (dew)