DPP LDII: Pendidikan Karakter Bisa Sukses, Bila Andalkan 6 Pihak Ini

Uncategorized
Pj Ketua Umum DPP LDII Ir. KH. Chriswanto Santoso, M.Sc

Surabaya (19/11). LDII memandang penting pembangunan karakter. Ini disampaikan dalam konferensi pers menjelang peluncuran platform e-learning pondokkarakter.com. Konferensi Pers ini digelar di Kantor DPW LDII Jawa Timur, Surabaya, Kamis (19/11).

Ketua DPP LDII Chriswanto Santoso yang membuka acara ini menekankan pentingnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkarakter. Ia mengatakan, LDII mengamati beberapa lingkungan strategis yang menjadi perebutan beberapa negara, yakni energi, pangan, air, dan logam. Untuk antisipasi itu SDM memegang peran penting. Dalam menyiapkan SDM inilah DPP LDII di bidang Pendidikan membuat sebuah platform e-learning pondokkarakter.com.

“Di dalam nilai-nilai SDM ini adalah terutama terkait dalam karakter dalam rangka menyongsong bonus demografi 2030 ini maka LDII mencoba berkontribusi pada pembangunan karakter,” ujar Chriswanto.

Pembangunan karakter selama ini, lanjut Chriswanto, masih banyak menekankan pada obyek (anak didik). “Kami mencoba mencari sisi lain yang berfokus pada subyek yakni stakeholder yang mendidik anak-anak. Itulah mengapa kami membuat platform pondokkarakter.com yang isinya memberikan pemahaman bagaimana cara stakeholder dalam menciptakan anak didik yang memiliki karakter kuat,” tambah Chriswanto.

Pondok karakter bakal menjadi e-learning perdana yang fokus pada pendidikan karakter. Menurut Ketua DPP LDII Basseng Muin, LDII telah memiliki sekitar 236 satuan pendidikan, mulai tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Di sekolah-sekolah tersebut selain mendapatkan pendidikan formal juga mendapatkan pendidikan karakter.

Kemajuan sebuah bangsa bukan ditentukan dari sumber daya alam, melainkan dari karakter negara itu sendiri. Dalam hal ini LDII mengembangkan sebuah karakter profesional religius. Profesional artinya manusia dituntut untuk ahli dibidangnya, jangan sampai negara lain yag menguasainya dan mengambil manfaat dari empat faktor itu. Adapun definisi religius adalah dimensi moralitas, manusianya harus jujur, berkarakter dan berintegritas. Basseng menambahkan, karakter menjadi navigasi agar keterampilan tinggi mendapat arah yang tepat. Tanpa karakter, arah pembangunan tidak dapat diketahui arahnya.

“Mendidik karakter itu ada ilmunya tersendiri. Tiap stakeholder memiliki peran masing-masing. Jika stakeholder memahami perannya dan cara melakukannya perannya dalam dunia pendidkan karakter maka otomatis anak didiknya juga akan memiliki karakter profesional religius,” papar Basseng.

Ada enam stakeholder yang digagas dalam pondokkarakter.com, yakni orang tua, guru, pamong, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan pengelola yayasan. Keenam stakeholder sebagai subyek pendidikan ini memegang peranan penting dalam pembangunan karakter anak didik. Pendidikan tidak hanya berfokus pada obyek (anak didik) tapi juga melalui penguatan subyek berupa enam stakeholder tersebut.

Penggunaan teknologi informasi dalam pendidikan karakter memperlancar dan mempercepat proses belajar baik bagi stakeholder maupun anak didik.”Jangan sampai terjadi penggunaan teknologi tanpa interaksi. Banyaknya informasi yang tersebar, membutuhkan kekampuan dalam mengelola informasi tersebut, “ jelas pakar pendidikan, Siti Nurannisa yang juga hadir sebagai narasumber dalam acara ini.

Nurannisa menambahkan, pendidikan bukan sekadar kognitif. Fokus hanya pada kognitif hanya akan menghilangkan momentum dalam membangun karakter anak didik. “Pendidikan karakter tidak bisa hanya diberikan secara teknis, kognitif, dihafalkan, tapi dia hidup dan muncul tumbuh sehinggga bisa dilihat. Diharapkan enam stakeholder itu menumbuhkan dulu karakter di dalam dirinya masing-masing,” paparnya.

Lebih lanjut Nurannisa mengatakan, jika sekolah hanya sekadar kewajiban, akan menurunkan kemampuan generasi penerus. “Pendidikan karakter bisa disesuaikan dengan kekinian. Pemaknaan dan implementasinya sama, hanya mediumnya yang berubah,” tambahnya.

Menurut Nurannisa, pendidikan karakter tidak bisa sekadar konsep, teori. Dibutuhkan upaya sistematis dan terintegrasi. “Ada faktor pembiasaan, ada tahapan, proses, bukan hanya fokus pada hasil. Namun, yang terpenting ada konsistensi dalam pendidikan karakter,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *